Sabtu dan minggu, waktu yang
selalu aku habiskan bersama Anisa. Ntah aku yang mengajaknya bermain atau dia
yang mengajakku bermain. Kini hari
liburku selalu bersamanya. Semakin hari semakin akrab saja aku dengan dia. Jadi
teringat masa-masa kecilku dulu bersamanya. Waktu yang selalu kami habiskan
hanya berdua saja. Hujan tak bisa menghalangi kebersamaan kami. Ntah apa yang
dia rasakan dan yang aku rasakan. Aku sudah tidak peduli lagi. Asalkan bersama
dengan dia, aku sudah sangat senang.
Nampak tak terlihat lagi raut wajah yang murung itu. Pernah suatu malam
aku diajaknya untuk makan malam dirumahnya. Aku yang merasa canggung jadi salah
tingkah tiap kali di tanya oleh ayah dan ibunya.Terasa sekali keakraban pada
malam itu. Anisa yang malu saat orang tuanya menceritakan tentang kehidupannya
sewaktu di Bandung dulu. Saat dimana dia jarang bermain bersama teman-temannya
di Bandung dan lebih sering berada dirumah. Dia merasa kehilangan sekali diriku
katanya ibunya. Aku juga jadi malu sekali mendengarnya. Anisa hanya tertunduk
malu mendengar cerita ibunya. Tidak butuh waktu lama untuk bisa akrab dengan
keluarganya. Ku merasa seperti dirumah sendiri.
Benar-benar kami semakin akrab
saja. Seperti tidak ada lagi
kecanggungan dan saling terbuka kami saat berbicara. Waktu itu hari Jum’at, aku
sedang mengejar-ngejar dosen pengbimbingku untuk konsultasi tentang bab
terakhir skripsiku. Aku mendapat pesan singkat dari Anisa untuk datang
kerumahnya jam 07 malam. Meskipun saat itu aku tidak tahu kapan akan selesainya
konsultasi, aku mengatakan akan datang kerumahnya. Selesai juga aku konsultasi
dengan dosen pembimbingku, lalu ku lihat jam di Handphone. “Astaga, sudah pukul
setengah 8 malam.” Aku lupa ada janji dengan Anisa untuk datang kerumahnya jam
7 malam. Aku pun langsung bergegas pulang untuk berganti pakaian.
Terlihat Anisa duduk di bangku
depan halaman rumahnya. Aku pun menyapanya dengan tertawa cekikikan. Tampak dia
menekuk mukanya tanda kalau dia sedang marah karena keterlambatan kedatanganku.
Aku langsung meminta maaf dan memberikan alasannya sambil mengacak-acak
rambutnya. Dia mencubit pinggangku sampai terasa sakit sekali yang kurasakan.
“Itu akibatnya udah buat aku menunggu.” Katanya sambil ketawa cekikikan. Aku
yang merasa kesakitan tak tinggal diam, aku langsung membalasnya dengan
mengkelitikin dia sampai dia tidak kuat lagi menahan tawa dan menyerah
kepadaku. Akhirnya dia tak lagi marah padaku.
0 komentar:
Posting Komentar